“AKU GURU HONORER KOK RASA PNS”



Guru honorer pahlawan dengan jasa
Seperti biasanya bangun subuh beribadah sebagai rasa syukur atas segala nikmat yang diberi sang Khaliq. Menyiapkan sarapan dan mengurus kebutuhan anggota keluarga. Setelah semua beres barulah si guru honor ini bersiap kesekolah walau kadang rumah tampak masih seperti kapal pecah.
Guru honorer adalah pilihan. Saat tawaran pilihan lain silih berganti. Entahlah, berat hati untuk melangkahkan kaki mengubah profesi. Jadi guru honorer bukan soal zona Mapan atau zona Nyaman tapi tentang Zona Mencintai. Ya, Mencintai suasana dalam kelas, mencintai para siswa dari siswa yang polos sampai siswa yang bersemangat untuk berprestasi. Walau kadang beberapa anak menegangkan urat syaraf.
Disebuah ruang pertemuan seorang peserta bertanya padaku.
Mengajar dimana Bu? Sudah PNS?
Bagi honorer Status PNS adalah salah satu harapan bukan karena tak lulus Passing Grade tapi kuota hanya untuk satu dua orang dan takdir berkata belum saatnya. Para honorer tak menafikkan keinginan statusnya berubah dari honorer menjadi PNS karena Kalau berbicara beban kerja maka tidak diragukan lagi. Banyak Honorer terasa PNS saat beban kerja yang diampu setara dengan PNS bahkan lebih demi tetap terkafer dalam dapodik. Honorer terasa PNS juga Saat menjadi bagian penting dalam perkembangan sekolah, Saat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, saat diamanahkan sesuatu yang tidak diamanahkan kepada PNS. Ironisnya, kadang honorer terlihat lebih rajin dibandingkan dengan PNS.
Apa Bedanya Honorer dengan PNS?
Mayoritas honorer akan menjawab Gaji. Selebihnya adalah Sama apalagi jika anda adalah seorang Guru.
Bu, kenapa mau ki jadi guru honorer?, tanya seorang teman padaku.
Aku hanya tertawa sambil berkata ada apa dengan guru honorer, jawabku. Kendatipun ku tak harapkan jawabanya dan menebak kemana arah pembicaraannya.
Inilah Masalah guru honorer, FINANSIAL.
Honorer setingkat SMA secara finansial masih lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan tingkat TK, SD dan SMP. Bandingkan saja hitungan rupiahnya per jam tapi tetap saja tak seberuntung upah PNS atau karyawan toko.
Saat ini pemerintah memberi banyak tunjangan sebut saja tunjangan fungsional, sertifikasi dan lainnya yang konon diperuntukkan untuk kesejahteraan. Sayangnya kebijakan ini menuntut jumlah jam mengajar dan memiliki NUPTK.
Sebagai honorer yang pernah mengajar dua tingkat sekolah SMP dan SMA negeri tunjangan fungsional dapat dimiliki setelah memenuhi syarat dan setumpuk berkas dikirim ke dinas pendidikan. Bagaimana tidak jam mengajar tembus hingga 41 Jam. Semester berikutnya harus menggurangi beban mengajar takut sakit dan biaya rumah sakit tak tertanggung honor yang terkumpul.
Untuk bisa mengatasi masalah finansial maka lahirlah ide kreatif dari kebanyakan guru honorer, mulai dari jualan, mengambil peran disekolah sebesar-besarnya sampai menempuh pendidikan lebih lanjut. Dan saya salah satu honorer itu yang menjadi penjual dengan target pasar adalah guru-guru PNS disekolah walaupun ternyata data pembeli honorer berada diurutan nomor 1. Mengambil peran disekolah dari kepala lab IPA saat itu, mengajar Mapel yang bukan keahlian tapi punya pengetahuan tentang itu, membina kegiatan ekstrakurikuler sekolah, bahkan tawaran yang bernilai rupiah termasuk menulis ijasah. Kemudian sampailah saatnya saya melanjutkan pendidikan S2 saat PNS lain masih sibuk berbelanja. Tapi, Jangan Ditanya darimana biaya S2 saya karena selain beasiswa, upah ngejob saja sini, suami adalah donatur utama.
Dengan banyaknya Peran yang diambil disekolah, dengan banyaknya amanah yang diberikan, dengan tambahan penghasilan dari berbagai pos, dengan lebih dulu berstatus magister dari PNS kok saya merasa PNS. Maka tak heran kalau mereka sering berkata seperti PNS saja. Dan menyenangkan jika namamu selalu disebut dalam hal baik.
***
tidak ada balasan bagi kebaikan selain kebaikan
Maka tetaplah berbuat baik. Dan saya memilih berbuat baik dengan menjadi guru.

Comments